Tuesday, 3 March 2015

Belajar Sejarah dari Candi Borobudur, Jawa Tengah

Candi Borobudur- Patung Budha ( foto : travel.nationalgeographic.com )

Masa Lampau ( Abad - 9, 730 - 830 Masehi )

Dahulu kala, pada masa Dinasti Syailendra, ada sebuah proyek besar yang sedang dibangun. Sebuah candi raksasa beragama Budha yang bernama Candi Borobudur. Menurut dugaan, candi ini dibangun oleh arsitek terkenal pada zaman itu yang bernama Gunadharma. Diperkirakan pembangunan candi ini selesai pada zaman Dinasti Syailendra dengan rajanya yang berkuasa pada saat itu bernama Raja Samaratungga.

Dibangun di sebuah perbukitan yang bernama Bukit Menoreh, Kabupaten Magelang yang dikelilingi oleh beberapa gunung berapi antara lain Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Hanya 15 km dari pusat Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi yang sangat megah bahkan kemegahannya mengalahkan kemegahan candi-candi yang ada di dunia ini. 

Candi Borobudur memiliki arti yang sangat unik, dimana ada dua ahli sejarah yang menyebut arti dari Borobudur. Menurut ahli sejarah Poerbatjaraka bahwa Borobudur memiliki arti Biara Budur, sedangkan menurut Sir Thomas Stamford Raffles "bara" artinya "besar" dan "budhur" artinya "Budha". Ada juga menurut Kitab Negarakertagama yang berada pada tahun 1365 Masehi yang sedikit menyebut kata "Budur" di dalam kitab tersebut. 

Foto Gambar Candi Borobudur oleh Van Kinsbergen ( sumber : wikipedia )

Masa Kini ( Abad - 21, 1873 - 2015 Masehi )

Begitulah sedikit cerita dari perjalanan sejarah pembangunan Candi Borobudur yang pernah saya baca dari beberapa sumber yang bisa dipercaya. Menurut dari beberapa sumber yang telah saya pelajari, belum ada yang mengetahui kapan candi ini mengalami keruntuhan. Ada yang bilang sejak meletusnya Gunung Merapi yang sangat dahsyat pada tahun 950 Masehi dilanjutkan dengan runtuhnya masa kejayaan Dinasti Syailendra yang beragam Budha diikuti oleh Kerajaan Medang dan Mataram Hindu yang mengalami nasib yang sama.

Dengan berjalannya waktu, akhirnya Candi Borobudur menemukan kemegahannya kembali yang dahulu pernah hilang oleh pergantian zaman. Seorang insinyur berkebangsaan Belanda yang bernama F.C Wilsen berhasil membuat sketsa ulang seluruh relief Candi Borobudur dan sebuah penelitian pada tahun 1859 oleh J.F.G. Brumund, dilanjutkan lagi oleh C.Leemans yang akhirnya hasil penelitian pertama Candi Borobudur dipublikasi pada tahun 1873 sekaligus difoto untuk pertama kali oleh Isidore van Kinsbergen.


Wah, bila diceritakan bisa sampai satu buku dari awal pembangunan sampai bentuk yang sekarang kita lihat dari kemegahan Candi Borobudur. Memang sangat menarik bila kita mempelajari sebuah sejarah beberapa peristiwa yang melatarbelakangi terbentuknya Candi Borobudur sampai penemuan kembali candi yang pernah hilang ditelan bumi ini. Saya adalah salah satu dari ribuan orang yang sangat tertarik belajar tentang sejarah Candi Borobudur walaupun saya bukan dari kalangan peneliti. Sejak duduk dibangku SMP saya sangat ingin sekali mengunjungi candi beragama Budha yang termegah di Asia bahkan di dunia ini kerena di salah satu materi pelajaran sejarah ada yang bercerita tentang Candi Borobudur. 


Horee.... !!!, beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan untuk datang lagi ke Candi Borobudur. Kali ini saya gak datang sendirian, ada keluarga serta kerabat yang saya bawa untuk melihat Candi Borobudur secara dekat, ibaratnya jadi "guide" mereka. Apa yang dilihat secara langsung maupun gak langsung dari candi ini bagi saya mempunyai kesan yang berbeda-beda. Bila dilihat dari sebuah foto, saya bisa memainkan khayalan seolah-olah berdiri di antara relief-relief di bangunan ini. Apabila saya melihatnya secara langsung, saya seakan-akan berada di dalam dunia yang berbeda dan terlempar ke sebuah lorong waktu di masa kejayaan Dinasti Syailendra.


Sebenarnya ini ketiga kalinya saya datang ke Candi Borobudur sejak pertama kali pada saat di awal kuliah dulu. Gak bosen memang mengunjungi cagar budaya yang sempat menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang diberikan oleh UNESCO. Jejeran stupa yang jika saya hitung mungkin sampai ratusan jumlahnya dan ribuan relief yang berada di setiap dinding candi yang menceritakan sejarah Candi Borobudur itu sendiri. Candi Borobudur ini sendiri memiliki 10 tingkat, dimana enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat paling atas yaitu stupa Budha yang menghadap ke arah barat. 

Di setiap tingkatan memiliki arti masing-masing, antara lain : Kamadhatu, bagian dasar Candi Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Rupadhatu, empat tingkat di atasnya melambang manusia sudah lepas dari hawa nafsu, tapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya melambangkan manusia sudah terbebas dari hawa nafsu, rupa dan bentuk. Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana atau surga. 


Begitu indah berada di lantai teratas Candi Borobudur dengan pesona pemandangan yang ditawarkan. Deretan perbukitan yang membentang di sebelah selatan candi ditambah dengan persawahan yang membentang dari sebelah utara hingga sebelah selatan, membuat saya sangat betah berada disini. Karena disini adalah tempat peribadatan umat Budha, jadi kita harus mengikuti beberapa aturan yang sudah ditetapkan oleh pengelelo candi, yang paling penting harus bisa jaga sopan santun selama berada di lingkungan Candi Borobudur.


Mengunjungi serta mencari ilmu sejarah tentang Candi Borobudur, ibarat "sambil menyelam minum air". Berlibur sekalian menambah ilmu kita tentang kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia salah satunya yaitu Candi Borobudur yang dibangun di atas Bukit Menoreh, terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur merupakan beberapa candi yang sudah saya kunjungi. Masih banyak lagi candi-candi yang belum sempat saya kunjungi. Insyaallah di kesempatan selanjutnya saya bisa mengunjungi candi-candi yang berada di Indonesia. 


Penulis : Lazwardy Perdana Putra

Tuesday, 24 February 2015

Wonderful Gili Meno, Lombok Island


Hari libur kerja gak enak rasanya berdiam diri di rumah saja. Daripada bengong di rumah, saya segera menghubungi ketiga teman saya ( Kipli, Irfan dan Ardi ) untuk memutuskan akan pergi ngetrip kemana. Akhirnya diputuskan untuk ngetrip ke gili yang sangat mempesona yaitu Gili Meno, Lombok Utara. Kebetulan juga kami berempat tinggal di Lombok, jadinya gak jauh untuk menuju gili ini. Selamat datang di cerita perjalanan kami di Gili Meno !.

Gili Meno merupakan salah satu dari tiga gili yang sangat terkenal di Lombok bahkan dunia yaitu Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno itu sendiri. Sehingga di kalangan wisatawan, ketiga gili ini memiliki nama julukan yaitu Gili Mantra ( Meno, Air dan Trawangan ). Gak ada salahnya jika kami berempat mengexplore gili ini yang gak kalah indahnya dengan Gili Trawangan yang sudah terlebih dahulu dikenal di dunia pariwisata Lombok.


Tepat pukul 11.00 WITA kami menaiki sebuah perahu boat umum yang melayani penyebrangan dari Pelabuhan Bangsal, Lombok ke Gili Meno. Sebenarnya kami ketinggalan perahu boat yang sudah terlebih dahulu jalan, tapi gak lama ada pemilik perahu yang menawarkan ke kami untuk nyeberang ke Gili Meno. Lumayan agak mahal sih, 30 ribu per orang. Biasanya jika lewat jalur umum cuma kena sebesar 14 ribu per orang. Daripada gak jadi nyeberang, akhirnya kami deal dengan bapaknya.

Gak cuma kami yang sebagai pengunjung saja yang ada di dalam perahu, tetapi segala macam sayur-sayuran dan kebutuhan sehari-hari ikut naik juga karena disana ada perkampungan penduduk yang tinggal di gili. Jadi gak heran banyak ibu-ibu yang habis berbelanja kebutuhan sehari-hari di Lombok, ikut bersama kami dalam satu perahu menuju Gili Meno.


Suasana di dalam perahu cukup ramai oleh para penumpang dan belanjaan penduduk Gili Meno. Gak ketinggalan para rombongan bule yang duduk di bagian mulut perahu sambil menikmati pemandangan perairan Lombok dan Gili Mantra. Cuaca cukup cerah walaupun angin dan arus laut lumayan kencang yang membuat perahu kami sedikit oleng ke kanan dan ke kiri.


Alhamdulillah sampai juga kami berempat di Gili Meno dengan selamat. Seperti boy band saja kami berempat, saya memakai baju merah, Kipli baju coklat, Ardi baju hijau dan Irfan juru kamera yang menggantikan saya, eksis dulu sebelum melakukan blusukan di Gili Meno.


Berfoto di bawah papan petunjuk tentang profil Gili Meno yang beberapa waktu lalu selesai dipasang. Sebelumnya saya yang jadi tukang foto, tapi ngetrip kali ini saya jadi modelnya.



Keindahan Gili Meno dari sisi lainnya. Berpasir putih, berombak kecil serta gradasi warna lautnya yang sangat cantik ( hijau dan biru ). Tampak dari kejauhan deretan perbukitan di Pulau Lombok menambah indahnya landscape dari Gili Meno.


Bila diperhatikan sekilas pada foto di atas. Landscape Gili Meno hampir mirip dengan Gili Trawangan. Seperti dua saudara kembar yang memberikan keindahan satu sama lainnya kepada para pecinta traveling di seluruh dunia.


Karena arus laut cukup kencang, kami berempat gak jadi snorkeling. Ini kedua kalinya saya gagal snorkeling yang sebelumnya gagal di Gili Trawagan dengan alasan yang sama. Akhirnya kami berempat melakukan blusukan di sekitar gili.

Disini banyak sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi, antara lain : toko-toko yang menjual souvenir khas Lombok, cafe-cafe yang menyajikan berbagai menu masakan dan minuman serta penginapan dari kelas ekonomi sampai bisnis. Suasana disini pun gak seramai seperti di Gili Trawangan, jadi sangat cocok bagi teman-teman yang ingin menenangkan diri dan menyendiri.


Di dalam perjalanan blusukan kami, saya dan teman-teman berjumpa dengan Helen, Si Imut dari Australia dengan kucingnya yang saya lupa namanya. Setelah berbincang-bincang, kami berfoto bersama dengan Helen. Anak yang manis dan pemalu ini, gak ragu-ragu foto bersama boy band asal Lombok, he..he..he. Thanks Helen has been willing to take a picture with us, he..he..he.


Setelah berpisah dengan Helen dan kucingnya, kami melanjutkan blusukan ke danau air asin yang merupakan danau satu-satunya yang ada di Gili Meno. Melewati jalan sempit di tengah perkampungan penduduk serta gak jarang berpapasan dengan penduduk asli gili ini yang melakukan berbagai macam kegiatan mulai dari beternak sapi, berkebun, serta menjadi pemandu wisata.


"Selamat Datang di Kawasan Ekowisata Mangrove dan Pengamatan Burung Gili Meno", begitulah kalimat yang terdapat di gapura menuju danau air asin yang berada di sebelah barat Gili Meno. Sekitar 15  menit waktu yang terpakai berjalan kaki dari bibir pantai hingga sampai di danau air asin ini. Tujuan sebenarnya ya ketempat ini karena penasaran ingin melihat secara langsung keindahan danau air asin milik Gili Meno.



Kami memutuskan beristirahat di tempat ini sambil menikmati kesunyian danau air asin yang cantik milik Gili Meno. Berhubung perahu boat yang akan balik ke Lombok terakhir pukul 03.00 sore, jadinya kami masih banyak waktu untuk berada di gili ini.



Menurut informasi yang saya dapatkan, di danau air asin ini merupakan sebuah danau hutan mangrove. Kawasan yang sebagian besar ditumbuhi oleh tanaman mangrove membuat tempat ini dijadikan tempat penelitian berbagai macam jenis burung yang hidup di hutan mangrove. Gak sedikit para travelers yang sudah ke gili ini menyebut Gili Meno dengan sebutan Gili Burung karena berbagai jenis burung ada hidup disini.


Waktu beranjak ke dzuhur, waktunya kami melakukan shalat dzuhur di masjid satu-satunya yang ada di Gili Meno. Sebagai seorang muslim yang taat, dalam melakukan perjalanan traveling gak boleh lupa mengerjakan kewajiban kepada Allah SWT dimana pun kita berada. Tampak sebuah masjid satu-satunya yang berada di tengah-tengah perkampungan Gili Meno.



Saatnya kami balik ke pelabuhan penyebrangan di Gili Meno untuk membeli tiket perahu boat menuju Pelabuhan Bangsal, Lombok. Sekitar satu jam lagi perahu kami akan berangkat balik ke Lombok, daripada bengong gak ada kerjaan, kami berempat mengexplore sisi sebelah utara Gili Meno sambil mencari landscape yang bagus buat dibawa pulang. Akhirnya kami menemukan sebuah bungalow atau conttage yang berada di daerah pinggiran pantai di sisi sebelah utara pelabuhan di Gili Meno. Bentuk bangunan yang sangat sederhana tapi kelihatan mewah. 


Berjalan sedikit ke arah utara lagi, saya menemukan sebuah hutan mini yang berada di pinggir pantai. Pohonnya semacam pohon pinus gitu. Sungguh nyaman dan sejuk berada di tempat ini apabila sinar matahari sangat menyengat yang bisa membuat kulit kita terbakar.



Cuaca agak sedikit kurang bersahabat saat kami akan balik ke Pulau Lombok. Angin mulai kencang, arus laut semakin besar juga. Ada sedikit kekhawatiran bila perahu kami gak bisa balik ke Lombok dikarenakan arus laut besar disertai gelombang tinggi. Ternyata kekhawatiran saya terjadi juga, sempat satu jam lamanya Pulau Lombok serta Gili Mantra diterjang hujan badai. Sangat dahsyat hujan badai tersebut menerjang perairan Gili Meno dan sekitarnya. Alhamdulillah kami semua selamat, tapi beberapa pohon disana ada yang tumbang. Cerita menyeramkan memang, tapi kami semua sangat senang bisa mendapatkan pengalaman yang sangat berharga diterjang hujan badai, he..he..he. 

Setelah kondisi perairan di Gili Mantra dirasa aman untuk diseberangi, akhirnya perahu boat yang membawa kami beserta para pengunjung berangkat balik menuju Pelabuhan Bangsal, Lombok. Cuaca masih sedikit mendung karena di sebagian wilayah Lombok masih turun hujan. Perjalanan laut menuju Lombok yang sangat menyenangkan sekaligus seru melihat dan merasakan perahu boat yang saya naiki, melawan ganasnya arus laut yang masih lumayan besar. Selalu memiliki cerita yang unik dan seru disetiap my trip my adventure yang saya lakukan.

Penulis : Lazwardy Perdana Putra


Friday, 20 February 2015

Pohon Purba Alam Sambelie, Lombok Timur


Bila pernah nonton Jurasic Park, film tersebut menggambarkan kehidupan para dinasaurus pada zaman purba yang dimana tempat syutingnya di sebuah pulau terpencil dan jauh dari kota besar dimana banyak sekali pohon-pohon besar menjulang sangat tinggi dan pasti ada dinasaurusny. Tempat yang beberapa waktu yang lalu saya kunjungi mengingatkan saya dengan film tersebut. 


Kebetulan pada saat itu saya dengan keluarga baru pulang dari Desa Sambelie menjenguk salah satu kerabat disana. Pas kami akan kembali ke Kota Mataram di pinggir jalan raya Sambelie, mobil kami berhenti di suatu tempat dimana banyak pohon-pohon besar yang menjulang tinggi karena salah satu ban mobil ada yang pecah. Dari beberapa perjalanan ngetrip saya, hal ini yang selalu saya khawatirkan jika bepergian. Tetapi kali ini hal tersebut gak membuat saya jengkel karena ban mobil pecah pas di suatu tempat yang membuat saya langsung jatuh cinta.


Memakan waktu sekitar 2,5 jam perjalanan dari Kota Mataram menggunakan motor atau mobil atau bisa juga bagi para travelers yang baru saja turun dari kapal di Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur, sekitar 15 menit waktu tempuh hingga sampai di daerah Pohon Purba ini. Menurut cerita nama pohon ini yaitu Pohon Lian. Entah sejak kapan pohon ini berada disini, saya belum mendapatkan informasi yang akurat. Yang pastnya ini tempat keren abis, bisa dijadikan tempat menenangkan diri.



Suasana yang sangat sejuk, cocok sekali buat para travelers untuk beristirahat sejenak atau rekreasi bersama keluarga sambil menikmati keindahan alam Desa Sambelie ini. Disini juga ada beberapa berugaq ( rumah kecil yang terbuat dari kayu atau bambu ) yang bisa dipakai untuk beristirahat.



Berkeliling sekitar hutan purba, saya menemukan satu pohon purba yang sudah gundul dan sebagian batangnya sudah terbakar, sangat disayangkan pohon sebagus ini terbakar dan gundul. Entah ulah perbuatan manusia sendiri atau memang kejadian alam yang membuat nasib pohon ini sangat malang sekali. Pesan saya buat pemerintah setempat, tempat-tempat yang kayak begini harus selalu dijaga dan dipelihara, jangan sampai ada orang-orang yang gak bertanggung jawab merusak tempat seindah ini. 


Di bagian belakang hutan purba ini, kita bisa melihat hamparan ladang jagung yang masih belum berbuah dan yang gak kalah indahnya itu kita bisa melihat pemandangan Gunung Rinjani dari kejauhan. Tapi sayang kabut menyelimuti puncak Gunung Rinjani sehingga gak tampak seutuhnya.


Ada satu tempat yang baru lagi di Pulau Lombok yang bisa dijadikan obyek wisata domestik bahkan wisata mancanegara. Pohon Purba Lian memberikan pengetahuan yang bisa kita berikan kepada orang lain untuk menambah wawasan buat kita sendiri maupun orang lain. Para travelers yang memiliki hobi meneliti berbagai macam jenis tanaman, gak ada salahnya berkunjung ke tempat satu ini. Selamat datang di Pohon Purba alam Sambelie, Pulau Lombok !. 


Jalur menuju lokasi Pohon Purba, Sambelie, Lombok Timur

Penulis : Lazwardy Perdana Putra

Wednesday, 18 February 2015

Cerita Bersama Gili Trawangan, Lombok


Bila berbicara tentang Pulau Lombok, pasti dipikiran kita tertulis nama Gili Trawangan yang sudah sangat terkenal sampai seluruh dunia. Baik di sosial media maupun di acara traveling yang disiarkan oleh hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia, kita sering melihat dan mendengar keindahan Gili Trawangan. Gili Trawangan dikenal dengan sebutan Kampung Bule karena sebagian besar penduduk gili ini adalah bule alias bule yang liburan ke Pulau Lombok. Jadi jangan heran suasana disini seperti berada di Hawai. Disini juga banyak sekali penginapan dari kelas homestay sampai hotel berbintang. Mau tahu cerita liburan saya bersama Gili Trawangan, mari kita mulai petualangan menuju Gili Trawangan, Lombok Island. "Welcome to Gili Trawangan, Lombok Island !!!"


Berawal dari rencana dadakan bersama teman yang bernama Kipli, akhirnya kami berdua memutuskan untuk pergi ke Gili Trawangan. Sebenarnya saya sudah sering ke gili ini tapi rasa yang gak pernah bosan untuk menginjakkan kaki di pulau kecil yang berada di utara Pulau Lombok, membuat saya selalu rindu dengan suasana tempat ini. Bagi saya gili ini adalah surganya travelers seluruh dunia, sangat beruntung bisa menginjakkan kaki di pulau kecil ini. Sesampai di pelabuhan penyeberangan menuju Gili Trawangan, saya bertemu dengan teman-teman yang lainnya yang akan menuju tempat yang sama, wah kebetulan sekali bisa bareng begini. Kami pun menaiki perahu boat yang sama menuju tempat yang sama pula.


Cuaca pada saat itu cerah berawan dan arus laut lumayan kencang, tapi jangan khawatir karena bapak nakhoda perahu boat sangat mahir mengemudikan kapalnya dan sangat ramah kepada penumpang, jadinya apapun informasi tentang kondisi di perjalanan menuju Gili Trawangan, bapak nakhoda gak segan-segan berbagi informasi kepada kita semua. Dengan waktu perjalanan laut sekitar 30 menit, perahu boat yang membawa saya dan rombongan, akhirnya sampai juga di tujuan.



Gili Trawangan merupakan salah satu dari tiga gili yang saling berdekatan dan menjadi primadona di Pulau Lombok. Ketiga gili ini saya beri nama Trio Gili meliputi Gili Air paling dekat dengan Pulau Lombok, kemudian Gili Meno di antara kedua gili tersebut dan paling ujung yaitu Gili Trawangan. Pasir putih, air laut berwarna gradasi hijau dan biru serta pemandangan alamnya yang keren abis. Gak nyesel deh kesini, bakalan gak mau pulang bila berada di tempat ini, survei sudah membuktikan he..he..he.


Bule saja rela jauh-jauh datang kesini untuk menikmati keindahan tempat ini. Berjemur adalah aktivitas wajib yang mereka lakukan bila bertemu dengan pantai apalagi pantainya seperi kayak foto di atas, siapapun itu pasti gak akan melewatkan moment-moment seperti ini. Kalo saya sih gak mau berjemur soalnya warna kulit saya udah imut coy, item mutlak maksudnya. Maklumlah anak pantai jadinya punya kulit seperti buah sawo mateng alias coklat manis lah he..he..he. Gak kebayang bila saya yang berjemur, bisa-bisa nanti ortu saya gak tanda anaknya yang pulang dari Gili Trawangan, intermezo saja ha..ha..ha.


Tinggalkan soal mas / mbak bule yang sedang asyik berjemur, saya bersama teman-teman melanjutkan berkeliling sekitar gili. Disini kami berpencar semua, ada yang lagi asyik berenang di pantai, ada yang lagi nyari toilet, ada yang mau bertemu dengan doinya, ada yang lagi nyari bule, ada yang lagi nyari masjid buat shalat dhuha ( maklum anak pak ustadz ), ada juga yang ngekor bareng dengan saya. Saya sih memutuskan gak snorkeling dulu soalnya arus laut lagi kenceng, jadi rencananya mau berkeliling gili saja sambil cuci mata sekalian cari sepeda yang bisa disewakan.



Nah pas saya bersama keempat teman yang ikut bareng saya berkeliling sekitar gili, kami menemukan tempat penangkaran penyu. Jadi menurut pendapat saya sih, sebelum anak penyu ini dilepas ke habitat aslinya bertemu dengan orang tua mereka, anak penyu ini sejak menetas sampai siap untuk dilepas harus berada di penangkaran ini sampai cangkangnya dirasa sudah cukup keras sehingga gak berbahaya bagi mereka apabila diserang oleh musuh. Menurut teori yang saya ketahui dari beberapa sumber yang saya baca mengatakan demikian.


Menjelang sore hari setelah mendapatkan sepeda sewaan dan berganti pakaian, saya dan teman-teman beistirahat buat makan sore di sebuah berugaq ( rumah kecil yang terbuat dari bambu ) yang berada di pinggir pantai, sedangkan teman yang lainnya masih pada berpencar dengan kesibukan masing-masing. Gak asyik sih gak bisa bareng-bareng, tapi saya sangat menikmatinya. Jika sudah berada disini sih apapun itu selalu bisa dinikmatin, kapan lagi bisa menikmati kayak beginian, ya gak?.


Bersepedaan itu asyik men, apalagi bersepedaan di Gili Trawangan, bisa dipastikan aman dari lalu lintas. Gimana gak, disini gak ada kendaraan bermotor seperti motor dan mobil, apalagi bus. Gak kebayang deh, cara nyebranginnya gimana, gak ada kapal ferry soalnya. Selain aman lalu lintas, udaranya juga bersih dari polusi asap kendaraan bermotor, kecuali asap produk kita sendiri he..he..he. Nah makanya itu gak bosan-bosannya saya berpesan kepada teman-teman dimana saja berada, jika ke tempat kayak beginian harus buang sampah pada tempatnya. Gak boleh mengotori apalagi merusak alam ini.


Tiba waktunya hari menjelang senja, saya dan teman-teman akhirnya bisa menikmati indahnya matahari tenggelam. Kata orang, disini merupakan sunset point terbaik di Pulau Lombok bahkan dunia, saya sangat setuju sama pernyataan tersebut. Jadi jangan heran Gili Trawangan sangat terkenal sampai ke luar negeri. Itu cerita saya bersama Gili Trawangan, apa cerita teman-teman ?, he..he..he. 

Penulis : Lazwardy Perdana Putra