Saturday 23 April 2016

Bertemu Si Kura-Kura Batu di Pantai Sungkun


Pernah mendengar kisah Si Malin Kundang ?

Pasti dari anak SD sampe orang dewasa sudah pernah mendengar kisah anak yang durhaka pada ibunya dan dikutuk menjadi batu. Kalo gak tau, kebangetan dah.

Itu adalah salah satu kisah dongeng pulau seberang yaitu dari Sumatra Barat. Percaya gak percaya di salah satu pantai di Sumatra Barat terdapat sebuah batu yang mirip seperti manusia, sehingga masyarakat Sumatra Barat percaya bahwa batu tersebut adalah sosok Si Malin sendiri ( sebutan kecilnya ).

Beda di Sumatra Barat beda pula di Pulau Lombok. Beberapa minggu yang lalu saya bersama ketiga sahabat saya ( drg.Irfan, Mas Junk bersama si istri ) melakukan expedisi kecil-kecilan di salah satu pantai di ujung selatan bagian timur Pulau Lombok.


Sekitar jam 7 pagi saya bersama drg.Irfan berangkat dari Kota Mataram menggunakan motor kesayangan ( Si Blue ). Sedangkan Mas Junk bersama istri menunggu di pertigaan Jerowaru,Lombok Timur. Setelah bertemu di pertigaan Jerowaru, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Sungkun. Tanpa bermodalkan peta GPS karena saya pribadi sudah mengenal daerah ini sebelumnya. Bila bingung tinggal pakai jurus bertanya.

Di daerah Jerowaru sendiri sudah banyak kemajuan. Beberapa tahun sebelumnya, ketika saya melewati daerah ini, kondisi jalannya kurang bagus. Tapi sekarang kondisi jalannya sudah mulus. Acungkan jempol buat Pemda Lombok Timur yang sudah memperhatikan aset pariwisata Lombok khususnya di daerah Jerowaru.

Sekitar 1 jam perjalanan sampailah kita di sebuah pertigaan. Bila lurus, arah mau ke Pantai Pink dan Tanjung Ringgit, sedangkan bila mengambil jalur ke kanan, kita menuju Pantai Surga dan Pantai Sungkun. Setelah mengambil arah ke kanan, jalan yang tadinya mulus menjadi berbatu dan berdebu. Welcome to Jungle !!!.



Setelah melewati jalan berbatu kurang lebih 8 kilometer, sampailah kita di pertigaan terakhir. Sempat bingung saat itu soalnya papan petunjuk jalan gak terlihat. Akhirnya saya bertanya dengan mas-mas yang kebetulan berpapasan dengan kami. Masnya berbaik hati  menunjukkan jalur menuju Pantai Sungkun kepada kami. Ternyata hanya butuh jalan lurus lagi sampai di bibir pantai. Alhamdulillah kami menemukan yang namanya Pantai Sungkun.

Suasana saat itu masih sepi oleh para pengunjung. Hanya kami berempat saja. Setelah memarkirkan motor di tempat parkir yang sudah disediakan, kami berbincang-bincang bersama mas-mas tukang parkirnya. Membahas soal kondisi Pantai Sungkun sekarang ini. Ternyata pantai ini sering dikunjungi oleh para wisatawan, hampir setiap hari.



Lihat saja landscape dari Pantai Sungkun, sungguh indah dan gak kalah dengan keindahan pantai-pantai lain di Pulau Lombok. Disisi sebelah barat, kita bisa melihat panorama Bukit Tunak dan Teluk Awang yang termasuk wilayah Lombok Tengah. Sedangkan disisi sebelah timur kita bisa melihat keindahan Teluk Ekas yang termasuk wilayah Lombok Timur. Pantai Sungkun sendiri terletak di wilayah Lombok Timur.


Gak puas hanya menikmati Pantai Sungkun dari pinggir pantai, saya bersama ketiga sahabat saya menuju sebuah bukit yang berada disisi kiri pantai. Kami bersantai-santai sejenak dari atas bukit. Saat itu rumput-rumput sedang hijaunya karena masih memasuki musim penghujan. Keistimewaan tempat ini terdapat sebuah batu raksasa menyerupai kura-kura yang dikelilingi oleh air laut. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Gili Tenge. Mungkin dulunya ada kura-kura yang durhaka sama ibunya dan dikutuk menjadi batu, seperti cerita dongeng Malin Kundang ( he..he..he.. ).


Gak ada kerjaan memang sahabat saya yang satu ini, drg.Irfan ( lihat foto di atas ). Jalur aman menuju bukit sudah ada, eh malah mau nyoba panjat tebing ala-ala Spiderman. Hati-hati mas broo, anak istri lagi menunggu di rumah. Buat yang di rumah, jangan mencoba ikut-ikutan panjat tebing tanpa pengaman kalau datang kesini yak !!!.


Lain sahabat saya yang lagi panjat tebing, lain pula sama pasangan satu ini ( lihat foto di atas ). Mas Junk lagi memberikan sebuah persembahan kepada istrinya ( Nova ) yaitu rumput laut. Soalnya gak ada bunga di pantai ini. Sungguh romantis sekali pasangan satu ini. Kerjaannya bulan madu terus,he..he..he.. Jadi iri. 


Banyak cara untuk menikmati Pantai Sungkun sambil berkenalan dengan Si Kuba ( Kura-Kura Batu ). Termasuk saya yang menikmati pantai ini dengan duduk di kursi tua, sambil bersantai diterjang ombak ( kurang kerjaan ). Numpang eksis dikit, kebetulan ada properti sebuah kursi sofa yang sudah rusak tapi masih bisa dipake buat eksis. Pengennya sih berendem di pantainya, tapi karena gak bawa pakaian ganti, lain kali saja mandi disini. 



Bagi yang memiliki jiwa petualang dan adventure, jangan lupa bila berlibur ke Pulau Lombok untuk mencoba sensasi explore Pantai Sungkun dan bertemu dengan Si Kuba ( Kura-Kura Batu ). 

Pantai Sungkun memang kece.

Catatan :
Jalur 1 : Kota Mataram - Kediri - Puyung - Kota Praya - Ganti - Jerowaru - Pantai Sungkun
Jalur 2 : Bandara LIA - Kota Praya - Ganti - Jerowaru - Pantai Sungkun
Jalur 3 : Pelabuhan Kayangan - Pringgabaya - Korleko - Tanjung Luar - Keruak - Jerowaru - Pantai Sungkun.

Bayar parkir Rp. 10.000,- per motor

Penulis : Lazwardy Perdana Putra

Friday 22 April 2016

Berjumpa Dengan Si Manis Madu : Air Terjun Madu, Sembalun


Beberapa waktu yang lalu saya sudah menulis tentang Air Terjun Umar Maya. Air terjun yang berlokasi di Desa Biluk Petung, Sembalun ini jalurnya susah-susah gampang. Berjalan kaki melewati padang rumput perbukitan menuruni tebing yang curam, menyusuri sungai dan bebatuan yang licin. Gak beda jauh dengan air terjun yang satu ini. Lokasinya sama dengan Air Terjun Umar Maya tapi beda arah sedikit saja. Lebih jelasnya, baca dulu tentang Air Terjun Umar Maya di postingan sebelumnya ( Klik Disini )


Bila sudah dibaca, saya lanjutkan cerita tentang perjumpaan kami dengan Si Manis Madu ( Bukan Si Manis Jembatan Ancol ). Abaikan model foto di atas karena Si Manis bukan Si Elga tapi Air Terjun Madunya, Peace Elga ( he..he..he.. ). Kalo boleh jujur, dua-duanya manis kok. Fokus ke Air Terjun Madunya ya !!!. Sebenarnya air terjun ini jaraknya lebih dekat dengan parkiran motor kami alias tepat di bawah tebing dimana parkiran kendaraan pengunjung berada. Karena letak air terjun ini di bawah parkiran, jadinya kami harus menuruni tebing dan menyusuri sungai yang berbatu licin. Tenang saja, jalur tebingnya sudah dibuat seaman mungkin oleh warga setempat.


Setelah menuruni tebing, barulah kita memulai menyusuri sungai berwarna putih kehijauan karena mengandung belerang, jadinya gak bisa diminum kalo haus. Jaraknya gak terlalu jauh dari titik pertemuan antara ke arah Air Terjun Madu dan Umar Maya. Tapi bagi yang baru pertama kali kesini mungkin akan terasa jauh dan melelahkan karena belum mengenal jalurnya. Kami memilih melewati jalur pinggiran sungai saja alias naik turun bebatuan yang besar-besar. Agak melelahkan memang dibandingkan harus basah-basahan berjalan di atas aliran sungai. Hitung-hitung olahraga, nyari keringat. 




Setelah kurang kebih 100 meter trekking, sampailah kami di Air Terjun Madu. Ternyata saat itu cuma rombongan kami saja yang berada di Air Terjun Madu. Berbanding terbalik dengan Air Terjun Umar Maya yang pengunjungnya lumayan ramai. Apa mungking jalur trekkingnya yang agak susah ya ? jawabannya relatif sepertinya. Jadi agak seram kalo sepi gini. Tempat kece ini memang letaknya di pedalaman sekali, dikelilingi oleh hutan belantara.

Untungnya rombongan kami jumlahnya 12 orang dan orang-orangnya gokil-gokil jadinya yang sebelumnya suasananya menyeramkan jadi ceria melihat kekonyolan kami semua yang mandi sambil bercanda di bawah air terjun ( Ingat becandanya jangan berlebihan !!! ).



Sayangnya ada satu crew kami yang gak mandi gara-gara gak bawa pakaian ganti. Jadinya harus menonton kami dari kejauhan. Namanya Dewi, seorang perawat yang baru pertama kali ikut kami ngetrip. Jangan kapok ya neng geulis !!!, ( he..he..he.. ).



Rasa 4L1H ( Lelah, letih, lesu, laper dan haus ) jadi gak terasa gara-gara keasyikan mandi di bawah air terjun sambil fotoan gaya masa kini. Selesai mandi, kami duduk-duduk di bebatuan sambil melihat indahnya Air Terjun Madu, surganya Pulau Lombok. Ketinggian air terjun ini diperkirakan sekitar 20 meter. Lebih tinggi dibandingkan Air Terjun Umar Maya. Konon ceritanya air terjun ini dinamai Air Terjun Madu karena seorang pangeran yang gak sengaja menemukan tempat ini dan melihat ada segerombolan lebah madu di balik tumpahan air terjun.

Akhirnya pangeran tersebut memutuskan untuk beristirahat dan tidur pulas sampai pagi. Setelah pagi harinya, pangeran tersebut membasuh mukanya dari air yang bersumber dari air terjun ini. Ternyata ada yang aneh, airnya terasa manis seperti madu. Akhirnya pangeran tersebut menamainya dengan nama Air Terjun Madu hingga sekarang. Warga setempat juga mempercayainya dan cerita ini saya dapatkan dari salah satu warga setempat.



Perjalanan trip yang melelahkan sekaligus menyenangkan karena bisa kumpul dan melakukan adventure lagi bareng para sahabat sesama pecinta alam. Setelah puas, kami segera kembali ke post pertama alias parkiran motor kami. Rasa puas mengalahkan rasa lelah kami saat itu. Sekitar jam 5 sore, kami sudah sampai di parkiran motor. Selanjutnya kami kembali ke Kota Mataram via Desa Sembalun lagi. Alhamdulillah sekitar jam 9 malam kami akhirnya sampai di Kota Mataram dengan selamat. Total perjalanan 13 jam ( Pulang Pergi ). 

Catatan :
1. Jalur arah Barat - Timur : Kota Mataram - Narmada - Mantang - Kopang - Masbagik - Aikmel - Suela - Pusuk, Sembalun - Desa Sembalun Bumbung - Desa Sembalun Lawang - Desa Sajang - Desa Biluk Petung.

2. Jalur arah Utara : Kota Mataram - Gunung Sari - Pusuk - Pemenang - Tanjung - Gangga - Kayangan - Bayan - Kokoq Puteq - Desa Biluk Petung ( jalur ke Sembalun ).

3. Total biaya perjalanan : 
    - Bensin                       Rp. 40.000,- ( pulang pergi )
    - Nasi bungkus            Rp. 15.000,- ( makan siang )
    - Tiket parkir motor   Rp.    5.000,- ( sudah sama tiket masuk air terjun )
    - Biaya lain-lain          Rp. 20.000,-  ( snack, soft drink dll )
                                     ------------------ +
    - Total Biaya               Rp.  80.000,- 

4. Bisa menggunakan motor dan mobil karena jalurnya gak terlalu ekstrem sampai di parkiran kendaraan. 


Penulis : Lazwardy Perdana Putra

Wednesday 13 April 2016

Explore Air Terjun Umar Maya, Lombok Timur


Akhirnya kesampaian juga ke air terjun yang lagi terkenal ini, Air Terjun Umar Maya. Lokasinya terletak di Desa Bilok Petung, Sembalun, Lombok Timur. Di tahun sebelumnya saya pernah kesini, tapi saat itu lagi kurang beruntung. Ketika sudah sampai di jalur menuju air terjun ini, kami dihadang oleh warga setempat. Mereka bukan begal atau pencari sumbangan di pinggir jalan, tapi mereka adalah penjaga pintu masuk menuju Air Terjun Umar Maya. 

Alasan mereka gak mengijinkan kami masuk karena saat itu sedang terjadi lahar dingin dari Gunung Rinjani. Memang kondisi ketika itu Gunung Anak Barujari, Rinjani sedang mengeluarkan abu vulkanik. Mau dikata apa, bila kami tetap nekat kesana juga, nyawa taruhannya. Akhirnya kami balik lagi menuju Kota Mataram. 

Dari kejadian tersebut kami bisa mengambil pelajaran. Jangan nekat melanjutkan perjalanan apabila alam sedang gak bersahabat dengan kita, seperti kejadian lahar dingin saat kami ingin mengexplore Air Terjun Umar Maya. 


Beda cerita yang dulu, beda juga cerita yang sekarang. Ini merupakan lanjutan perjalanan saat mengexplore Desa Sembalun pada postingan sebelumnya. Gak lengkap rasanya bila ke Desa Sembalun, tapi gak mampir ke Air Terjun Umar Maya. Sebenarnya di Desa Biluk Petung ini gak hanya terdapat Air Terjun Umar Maya saja, tapi ada satu nama lagi yaitu Air Terjun Madu semanis namanya. Tapi kali ini kita fokus ke Air Terjun Umar Maya dulu.

Antara Air Terjun Umar Maya dan Madu memiliki tempat parkiran kendaraan pengunjung yang sama, tapi jalurnya agak berbeda. Dari parkiran kendaraan kami harus berjalan kaki kurang lebih 300 meter sampai menuruni tebing menuju aliran sungai. Setelah di aliran sungai, ada sebuah plank petunjuk bila ke kanan menuju Air Terjun Umar Maya, sedangkan ke kiri menuju Air Terjun Madu. Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan ke Air Terjun Umar Maya terlebih dahulu.

DILARANG MENCORET BATU !!!. Tiga kata yang sangat bagus menurut saya. Gak hanya dilarang membuang sampah sembarangan tapi kita juga dilarang untuk mencoret batu pake alat apapun. Disamping gak beretika, bisa mengganggu pemandangan yang sudah indah juga.



Kurang lebih 200 meter kami harus menyusuri dan menyeberang sungai yang cukup deras. Jalan kakinya pegel-pegel sedap. Pemilihan alas kaki sangat penting saat kita menyusuri sungai dengan kondisi aliran sungai yang cukup deras, dasar sungai yang sebagian besar merupakan tanah berlumpur, dan bebatuan yang licin. Keliatannya sih sepele, tapi bila sudah di lapangan, bisa tau rasanya.




Tapi jangan khawatir, perjalanan menyusuri sungai gak akan membosankan bila kita menikmati pemandangan alam di sekitar. Menurut saya, alam di sekitara aliran sungai Desa Biluk Petung ini gak kalah kecenya dengan sungai-sungai yang lain di sekiataran kaki Gunung Rinjani. Aliran Sungai yang menjadi satu kesatuan dengan Air Terjun Umar Maya ini sungguh cakep bila difoto. Bebatuan besar, tebing yang cukup curam, daun-daun yang hijau, aliran air sungai yang cukup deras membuat hasil jepretan saya kece ( puji diri sendiri ).



Sebelum sampai di air terjunnya, kami harus menyeberangi sungai yang terakhir. Agak ribet memang karena kami harus menjaga barang bawaan ( kecuali pakaian yang melekat di tubuh ) biar gak basah. Tapi tetap saja ada beberapa crew yang basah kuyup karena terpeleset. Lumayan ada hiburan dari kelucuan mereka yang terpeleset, teriak sambil narik baju yang lain. Saya salutnya sama para ladies yang biasanya manja, tapi masih kuat sejauh menempuh trekking Umar Maya. 




Rasa letih, lesu, pegel, haus terbayarkan saat sampai di atas Air Terjun Umar Maya. Ternyata kami berada tepat di atas Air Terjun Umar Maya. Pengalaman pertama saya mengexplore air terjun ini. Air terjunnya gak terlalu tinggi tapi kolamnya yang cukup lebar. Air berwarna keruh kehijauan yang menandakan air disini mengandung belerang. Menurut penelitian, belerang itu bagus buat kulit tapi gak bagus bila diminum karena dapat memutihkan usus dan lambung alias keracunan,hehehe. Kebetulan kulit saya hitam, mungkin bisa jadi kalo lama-lama berendam, kulit berubah agak putih ( ngarep ). 


Setelah beberapa menit beristirahat di atas air terjun. Kami mencoba untuk turun melewati pinggiran air terjun. Lumayan curam turunannya, hanya terbuat dari tangga kayu dan bambu yang kondisinya agak memprihatinkan. Jadi harus hati-hati menuruninya, jangan sampai kayunya patah. 

Memang gak bisa dipungkiri destinasi yang kece-kece di Pulau Lombok harus dilalui dengan perjuangan yang cukup menguras fisik. Kenapa demikian, kebanyakan destinasi-destinasi di Pulau Lombok masih perawan alias masih ekstrem kondisi jalurnya, salah satunya Air Terjun Umar Maya. Butuh memiliki jiwa petualang sejati bila mengexplorenya seperti kami ini (  muji diri sendiri lagi ).

Walaupun melelahkan dan kehausan, tapi kami selalu bahagia bisa sampai di Air Terjun Umar Maya. Apalagi bersama para sahabat tercinta, semuanya menjadi indah untuk dikenang.

Perjalanan belum selesai, masih ada satu tempat lagi yang akan saya ceritakan. Ceritanya dilanjutkan di postingan Air Terjun Madu selajutnya ya. Comming Soon.

 " Jangan Lupa Bahagia !!!" by Denny Sumargo

Penulis : Lazwardy Perdana Putra

Friday 8 April 2016

Rumah Adat Desa Beleq, Sembalun : Desa di Atas Awan


Desa yang memiliki ketinggian kurang lebih 1100 mdpl. Sehingga desa ini merupakan satu-satunya desa tertinggi di Pulau Lombok. Dikelilingi oleh deretan perbukitan hijau karena sudah memasuki musim penghujan dan yang kecenya lagi, desa ini sebenarnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani alias kawahnya gunung tertinggi kedua di Indonesia. 



Perjalanan yang diawali dari Kota Mataram dengan waktu tempuh kurang lebih 3-4 jam hingga sampai di Desa Sembalun. Saya bersama anggota Crew Patrick lainnya yang berjumlah 12 orang mengexplore salah satu destinasi yang ada di Desa Sembalun, Lombok Timur. 

Selamat Datang di Desa Sembalun !!!

Sebenarnya tujuan kami gak hanya Desa Sembalun saja, tetapi ke sebuah destinasi yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan di sosmed. Sebut saja namanya Bukit Selong, Sembalun Lawang. Ini kali kedua saya kesini yang sebelumnya beberapa bulan yang lalu pernah ke bukit ini bersama anggota lainnya. Ada rasa kurang puas saat itu karena masih musim kemarau dan lebih parahnya lagi saat itu perbukitan di Desa Sembalun mengalami kebakaran akibat terlalu panas dan kering.




Kebetulan pada kali ini di Bulan Maret 2016, saya bersama anggota Crew Patrick lainnya datang untuk kedua kalinya saat musim penghujan tiba. Perbukitan yang dulunya kering dan kuning, sekarang sudah hijau kembali. Udara di sekitar pun sudah sejuk seperti Desa Sembalun yang saya kenal.

Apalagi saat sampai di Bukit Selong yang nama sebenarnya adalah Bukit Desa Beleq ini, gak hanya perbukitan saja yang hijau tetapi sawah-sawah yang berjejer rapi pun ikut-ikutan menghijau. Pohon-pohon pun ikut menghijau yang menandakan Desa Sembalun yang sebenarnya.

Pemandangan dari atas bukit yang tingginya hanya beberapa mdpl ini kece sekali seperti kecenya dirimu yang lagi tersenyum kepadaku, alaaaayyyy ( salah fokus ). Kamera yang saya bawa pun langsung jepret sana sini karena terpananya melihat semuanya serba hijau yang dilengkapi dengan birunya langit yang berkabut awan tebal, dingiiinnn brrrrr. 


Di bawah Bukit Desa Beleq ini terdapat sebuah kompleks rumah adat asli dari masyarakat Suku Sasak yang berdiam diri di Desa Sembalun. Namanya pun sama seperti Bukit Desa Beleq yaitu Rumah Adat Desa Beleq.

Konon katanya rumah adat ini sudah berdiri sejak pertama kali masyarakat Suku Sasak tinggal di desa ini. Rumah adat yang terdiri hanya 7 buah rumah ini memiliki ciri khas dari bentuk bangunannya. Atap bangunan terbuat dari jerami atau alang-alang, lantai terbuat dari campuran kotoran sapi dan tanah liat sehingga bisa mengeras seperti semen. Anehnya lantai gak berbau walaupun kita mengenal yang namanya kotoran sapi itu pasti bau. Apalagi dinding terbuat dari rotan bambu dan hanya terdapat satu pintu tanpa jendela.



Syukurnya lagi kami diijinkan memasuki kompleks rumah adat ini dengan mengisi buku tamu terlebih dahulu dan memberikan sumbangan seikhlasnya buat anggaran menjaga kebersihan kompleks rumah adat ini. Setibanya waktu shalat Dzuhur tiba, yang saya suka dari tempat ini, kita bisa memanfaatkan salah satu bangunan seperti rumah tanpa dinding ( berugaq ) dimana di lantai atasnya terdapat sebuah ruangan kosong disertai anak tangga untuk bisa naik ke dalam ruangan. Kami memanfaatkannya untuk melaksanakan shalat.



Sebelum pamit, gak lupa kami mengajak seorang ibu bersama kedua anaknya dimana mereka merupakan penjaga kompleks rumah adat ini untuk berfoto bersama, hitung-hitung sebagai kenang-kenangan. Rumah adat ini gak untuk ditinggali oleh masyarakat Desa Beleq, Sembalun. Kompleks ini hanya sebagai peninggalan situs budaya yang berada di Desa Beleq, Sembalun Lawang. Jadi harus dilestarikan dan dijaga kebersihannya. 


Kemanapun, Kapanpun dan dalam kondisi Apapun kita melakukan perjalanan, kita harus selalu menjaga kebersihan tempat kita berada. Bila mampu menjaga kebersihan, maka kita berhasil menjaga keindahan tempat yang kita datangi. Salah satunya jangan buang sampah sembarangan.

Rumah Adat Desa Beleq, Sembalun ini sudah mengajarkan kita pentingnya menjaga peninggalan sejarah dari nenek moyang kita terdahulu untuk kita berikan kepada anak cucu kita kelak tentang artinya menghargai sejarah dan menjaganya agar tetap hidup dengan indah.

Saya ( Didik ) bersama kesebelas anggota yang lain ( Nazam, Ocha, Elga, Andi, Eza, Nufus, Dewi, Nisha, Angga, Junk dan Nova )... Selamat ngetrip dengan bahagia !!!. 

Salam Crew Patrick....

Catatan :
- Bisa mampir di artikel saya lainnya tentang Desa Sembalun Kekecewaan Terbayarkan Oleh Bukit Selong, Sembalun Lawang

Penulis : Lazwardy Perdana Putra

Saturday 2 April 2016

Nongkrong di Rest Area Teluk Lembar, Lombok Barat


Di akhir pekan yang lalu, jadwal ngetrip padat sekali. Di hari Jumat saya bersama temen-temen backpackeran ke Sembalun. Hari Sabtunya nongkrong di Lombok Epicentrum Mall ( nemenin emak-emak rempong ). Selanjutnya di Hari Minggu pengen ngetrip ke suatu tempat yang asyik dan nyaman. Akhirnya saya memilih nongkrong di suatu rest area di Teluk Lembar. 


Di tengah-tengah kesibukan sebagai tenaga kesehatan, saya gak lupa menyempatkan diri untuk ngetrip sekaligus refreshing walaupun hanya memiliki waktu libur hari Minggu dan tanggal merah saja. So, gak apa-apa, yang penting fun and happy pastinya. 

Oke..kali ini saya ingin bercerita sedikit tentang salah satu tempat favorit baru saya. Sebut saja namanya Rest Area Teluk Lembar. Termasuk tempat baru di kawasan Teluk Lembar. Gak jauh dari Pelabuhan Lembar ( penyeberangan kapal roro ke Padangbai- Bali ) atau lebih tepatnya berhadapan langsung dengan pelabuhan. 




Lokasinya gak terlalu membingungkan. Dari Kota Mataram, kita menuju Kota Gerung kemudian berlanjut ke arah Pelabuhan Lembar. Gak jauh dari pintu masuk pelabuhan, ada pertigaan yang mengarah ke Desa Sekotong. Kita berbelok ke arah yang menuju Desa Sekotong. Sekitar 1 km, kita berjumpa dengan pertigaan lagi, belok kiri jika menuju ke rest area yang dimaksud. Jadi total perjalanan memakan waktu 45 menit dari Kota Mataram.



Di rest area ini banyak sekali warung-warung yang menjual makanan dan minuman ringan. Ada juga yang menjual nasi bungkus dan bakso, tapi kebetulan pagi ini belum buka soalnya masih jam 7 pagi. Bila datangnya agak siangan, mungkin area ini sudah ramai oleh para penjual dan pembeli. Tempat ini sangat cocok untuk beristirahat dan bersantai sejenak sambil menikmati lalu-lalang kapal yang keluar masuk pelabuhan. 



Kebetulan sudah memasuki musim penghujan, pemandangan yang disajikan sungguh indah dipandang. Bukit-bukit sudah berwarna hijau, langit berwarna biru cerah disertai awan putih dan sinar mentari pagi yang selalu menghangatkan tubuh. 


Dari pinggiran rest area yang sudah diberikan pembatas seperti jembatan, saya melihat sebuah kapal roro yang bernama KMP Nusa Penida yang baru saja tiba setelah pelayaran yang cukup jauh dari Pulau Bali. Akan bersiap-siap bersandar di salah satu dermaga Pelabuhan Lembar. 


Kita juga dapat melihat dari rest area ini beberapa kapal roro yang sedang berlabuh di sekitaran teluk. Bersantai sambil merasakan angin laut yang sepoi-sepoi dan udara sejuk di pagi hari. Air yang tenang yang sangat cocok untuk tempat kapal-kapal berlabuh. 


Beberapa kapal roro yang berlalu lalang mengantri untuk bersandar di dermaga Pelabuhan Lembar. Gak hanya kapal roro saja, tetapi sejumlah kapal barang dan kapal pengangkut LPG juga berlabuh di Pelabuhan Lembar. Bisa dibilang Pelabuhan Lembar merupakan salah satu pelabuhan yang cukup ramai dan menjadi pintu gerbang masuknya para wisatawan dan bahan-bahan sembako yang datang dari berbagai macam daerah di Nusantara. 



Kebetulan ada seorang bapak-bapak yang lagi menjala ikan dari atas perahu kecilnya. Inilah salah satu potret kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitaran Teluk Lembar. Gak hanya itu saja, di sekitaran Teluk Lembar banyak sekali ditumbuhi oleh beberapa tanaman mangrove yang memiliki banyak sekali manfaat antara lain mencegah terjadi abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut dan sebagai tempat kehidupan berbagai macam binatang.   



KMP Trimas Elisa yang baru saja meninggalkan salah satu dermaga dan akan segera berlayar menuju Pulau Bali yang memakan waktu 3 sampai 4 jam perjalanan dari Pulau Lombok. Sungguh lama memang, tapi kondisi dan fasilitas dari kapal roro yang ada cukup baik. Sehingga diharapkan selalu memberikan kenyamanan dan keamanan yang maksimal untuk para penumpang. 


Menutup cerita saya kali ini, dari sisi manapun Pulau Lombok memang cantik. Jadi untuk kalian yang memiliki rencana berlibur di Pulau Lombok, banyak sekali destinasi-destinasi indah selain Gili Trawangan dan Pantai Senggigi. Salah satunya di Teluk Lembar ini, tempat yang sangat cocok bagi pencinta sunset dan sunrise. Disinilah salah satu tempat untuk menikmati pagi dan senja sambil ngopi-ngopi bersama sahabat dan keluarga. 

Penulis : Lazwardy Perdana Putra